Music

Senin, 29 Oktober 2012

Tempat Terakhir


Kau bak hutan yang lebat, rimbun, penuh berbagai nuansa tak terbayangkan
Laksana dunia asa yang kelak memberi berjuta warna 
Kau membuat semua insan tengadah, terpekur, memohon segala hal
Membiasakan diri, terkendali oleh beragam aturan dan kebijakan 

Bermacam karakter kutemui pada tiap insan, tiap jiwa 
Kujelajah tiap lorong kelas 'tuk temukan kolega tanpa batas

Dentang jam tak henti berputar 
Hujan dan terik kita tak gentar 
Merangkai persahabatan kala belajar
Hingga kita dapat berkembang dengan penuh nalar

Beragam program kita canangkan 
Beragam aktivitas kita lakukan 
Beragam persoalan kita selesaikan 
Beragam kenangan terekam dalam ingatan

Almamater hitam yang dulu sebuah kebanggan 
Kini tak 'kan kubiarkan sekedar pajangan kamar 
Buku pelajaran yang dulu seperti monster
Kini tak 'kan kubiarkan menjadi tumpukan 
Berdebu tanpa guna disamping beker

Satu demi satu ujian berlalu
Uji kompetensi telah terlampaui
UN yang bervariasi telah kami lalui
Telah jumpa nilai fantastik murni 

Asa pun terus melambung 
Harapan kian membumbung
Semoga kita tidak limbung 
Dan mampu keluar dengan kepala tegak terlindung

Mari ukir kenangan kita dalam diary
Kenangan yang tak mungkin kembali
Yang terbungkus dalam memori
Lalu kupeluk dalam hati 
Tatkala kuceritakan pada anak cucuku nanti

Hari ini, mungkin hari terakhir bercengkerama 
Berpeluk dan berbagi tangis dan tawa sesama
Hati ini pun berdoa   
'Tuk kebahagiaan dan tak lupa pada sesama 
Hilang & Takkan Mungkin Kembali


Laksana anatomi kehidupan mewah
Lebih dari setetes darah yang mengalir
Menjadi sandaran jiwa raga yang lemah
Sembari menuntun ke koridor yang mahir

Tangisan, senyuman yang dulu kalian tampakkan
Tampilan esensi hari disetiap keadaan
Candaan, gurauan yang dulu kalian persembahkan
Penawar hati yang tak terelakkan
Demi terciptanya guratan di pipi menawan

Berbagai halangan kita jumpai
Beragam halang rintang kita langkahi
Kita sekalian tetap tegar dan tak gentar
Tanpa ada sedikitpun bumbu gemetar

Kemanakah mereka akan berlabuh?
Dimanakah penghuni hati ini berteduh?
Kapankah mutiara hati ini berkilau utuh?
Disetiap malam, termenung dengan lusuh
Tanpa ada setitik kabar angin yang tersentuh

Masa-masa itu telah sempurna
Tanpa secercah untaian yang tak bermakna
Bermakna di lubuk hati kita semua
Untuk bekal di hari tua nan bahagia

Kini, penawar rasa rindu itu lenyap bak tertelan bumi
Hingga lupa akan semua yang pernah terjadi
Kini, para insan itu takkan mungkin kembali
Meski selalu coba untuk menasihati
Namun, abaianlah yang senantiasa menemani diri

Entah bagaimana caranya takdir ini harus kuarungi
Entah sampai kapan mereka menutup hati
Jiwa lemah ini tak sanggup melawan situasi
Hanya uluran tangan-Nya yang tak pernah lelah menemani
Seraya bibir ini bermunajat "Tuhan, ampuni dan sehatkanlah sahabat-sahabatku ini"

Rabu, 18 April 2012

Sekolah Terakhir

Kau bak hutan rimba yang lebat pohon
Laksana dunia lain bagi orang awam
Membuat semua orang memohon
Agar tetap terkandang oleh alam

Kutemui bermacam karakter individu
Dari murid hingga guru
Kugeledah di setiap lorong kelas
Untuk temukan kolega tanpa batas

Dentang jam pun tak henti berputar
Hujan, terik matahari kita tak gentar
Singkat kata, singkat cerita
Itu awal dari persahabatan dan cinta

Beragam masalah kita selesaikan
Beragam ulangan kita rampungkan
Beragam praktek kita lakukan
Beragam kenangan terekam diingatan

Almet hitam yang dulu menjadi kebanggan 
Kini hanya sekedar pajangan
Buku pelajaran yang dulu menjadi monster
Kini tak lebih dari jam tua beker

Ujian Nasional sudah berlangsung
Pertanda semua akan berkerak
Asa pun terus melambung
Semoga kita keluar dengan kepala tegak

Hari ini, mungkin hari terakhir bercengkrama
Berpeluk menangis sesamanya
Bibir inipun berdoa 
Agar bahagia dan tak lupa sesama

Pesta Ibukota

Sudut kota mulai terpampang
Wajah-wajah yang cemerlang
Terdengar teriakan dari pusat kota
Dengan nada meminta
Untuk contreng wajahnya

Puluhan nazar diumbar
Bermacam royalti mengalir lancar
Untuk menggiring simpatisan
Agar tak terpancar wajah bosan

Sepuluh semester terarungi
Musim-musimpun berlari
Tendapun kokoh berdiri
Tiba masanya hari ini
Contreng calon DKI

Mentari tersenyum terang
Ayam jago berteriak kencang
Drum genderang garang
Pribumi sambut dengan riang

Janganlah resah
Janganlah gundah
Contreng dengan hati
Tanpa bumbu intimidasi
Dari orang bedasi

Hanguskan golongan putihmu
Terapkan hak pilihmu
Jangan termakan bayang semu
Yang mengundang peluru
Demi Ibukota yang lebih maju

Demonstari

Berangkat dari kata demos
Bersumber bahasa yunani kuno
Cara jitu sampaikan aspirasi
Menjadi anatomi hingga kini

Momok penuh intisari
Mengandung dua sisi
Positif bagi insan paham esensi
Negatif bila enggan mempelajari

Dulu, ia jembatan massa
Moda penyampai asa
Pribumi dengan elit liberalis
Tanpa ada bumbu anarkis

Kini dirimu bermetamorfosa
Berubah secara leksikal
Dirimu tunggangan manusia
berkiblat pada keleburan bangsa

Pelajar, mahasiswa buatnya tertatih
Empatipun berubah antipati
Via demonstrasi sangat keji
Tanpa menyesal dari lubuk hati

Kami rindu fungsi originalmu
Kapan kembali pada sejatimu?
Kampungmupun acuh terhadapmu
Sampai kapan mereka menutup mata?
Tuhan, padamkanlah niat jahat mereka

Senyummu

Senyummu adalah magnetmu
Gravitasi terhadap duniamu
Menggiring jiwa ke kayangan
Mata ini terpaku satu pandangan

Senyummu oh lesung pipitmu

Burung-burung bernyanyi untukmu
ilalangpun menari menyambutmu
Untuk pancarkan medan hati
Besarkan ekspektasi

Senyummu laksana mentari di lautan
Melembutkan hati sekalian
Tak satupun dapat tergadaikan
Sekalipun kemilau intan

Magnetmu realisasi hati yang suci
Cerminan positif Illahi Robbi
Diri ini bersujud pada-Mu
Jangan kau lekang magnet untukku

BBM

Perkara yang menjadi kontroversi
Pribumi dan inkamben negeri ini
Momok itu sukar dikaji
Enggan untuk dipungkiri

BBM, Terkadang pribumi menjerit
Karena harganya melejit
Elitpun meraup banyak duit
Menutup mata atas hal rumit

Udara yang penuh makna
Bagi rakyat jelata
Di dunia fatamorgana
Jantung perekonomian indonesia

BBM oh BBM

Kapan dirimu pro si miskin?
Menggali senyum si miskin
Kapan akhir derita ini?
Tak satupun uluran untuk kami

Ironis, Dirimu berubah jadi alat politik para elit
Berubah menjadi tambang emas elit
Berkamuflase menjadi neraka dunia
Pribumi hingga elit tumbalnya

Harta itu waisan dunia
Yang dinikmati junior kita
Tangan inipun menadah
Minta warisan dipelihara